Oleh : Jacob Ereste :
Peran media sosial berbasis internet semakin nyata sangat efektif dan efisien dalam penyajian informasi, publikasi dan komunikasi mulai dari peristiwa yang terjadi diujung pulau nun jauh disana, sampai peristiwa atau kejadian yang ada di kebisingan kota yang hiruk pikuk di tengah kehidupan warganya yang berpacu dengan waktu.
Jaringan internet yang tersedia bisa segera menghantar kabar, berita dan cerita yang dapat segera diketahui oleh warga masyarakat di ujung dunia sekalipun. Gusti Ratu pun dapat mengikuti gerak perkembangan terkini di tanah air dari Negeri Turki yang jaih lebih sibuk lalu lintas komunikasinya dengan benua lain. Semua geliat aktivitas yang nyaris tiada batas bisa diberitakan, diinformadikan dan dikomunikasikan kepada mereka yang dianggap perlu. Apalagi hanya sekedar ingin memperkenalkan atau untuk lebih mendekatkan calon kandidat anggota legislatif — atau bahkan calon eksekutif — yang ingin dipromosikan kepada warga masyarakat yang menjadi daerah konstituen yang doharap dapat menjadi pendukung sekaligus memberikan suara kepada yang bersangkutan. Karena itu, waktu menjelang Pemilu tahun 2024 ini pun seakan menjadi masa panen media sosial — yang memang murah meriah — untuk dijadikan ujung tombak penerobos massa pemilih yang sedang diperebutkan oleh semua kandidat calon legislatif maupun calon eksekutif dari berbagai level dan jenjang agar dapat tampil sebagai pemenang yang meraih suara terbanyak dalam Pemilu dari daerah tersebut.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana media sosial sendiri yang berbasis internet ini bisa tampil dengan performa yang dapat lebih meyakinkan sehingga para kompetitor yang ada bisa memberi kepercayaan penuh untuk menjadi mediator pembungkus ide, gagasan serta misi dan visinya yang hendak disuguhkan kepada warga masyarakat setempat agar berkenan memberi dukungan dan suara pilihannya dengan kesadaran dan keikhlasan.
Sebagai media sosial yang patut bersikap netral, pakemnya adalah tetap kukuh berpegang pada obyektifitas dan kejujuran, hingga tidak perlu ragu melakukan yang terbaik bagi kandidat yang menjadi andalan untuk memenangkan kompetisi dalam Pemilu yang harus sehat, jujur serta sportif dalam menghadapi para pesaing yang ikut bertarung. Sebab Pemilu itu bagi rakyat bukan cuma untuk menang, tetapi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang terbaik bagi rakyat. Jadi soalnya bukan lagi harus berpikir menang atau kalah.
Jadi, selama media massa jenis apapun yang berada di pihak seberang, tidak juga patut dianggap sebagai lawan apalagi musuh. Mereka pun harus dipercayai sedang mencari yang terbaik dari yang terbaik untuk rakyat. Cilakanya memang, kalau posisi kita bersama rakyat berada pada keterpaksaan untuk memilih yang terbaik dari semua pilihan yang buruk. Meski begitu, bukan pula serangan harus tetap dilakukan walau dengan cara terdelubung– seperti insinuasi — tetap tidak lebih elegan untuk dihindari. Karena toh, keberpihakan yang sementara ini kelak akan berakhir juga. Sementaran sebagai pekerja pers, pada akhirnya nanti akan kembali ke habitanya semula. Lalu kembali akan bertemu dengan kawan seprofesi yang bekerja di tempat lain, namun tetap berada di habitat yang sama.
Pososi strategis kaum buruh pun dalam Pemilu tahun 2024 tidak menjadi kalah penting dibanding dengan dari keberadaan insan pers. Sebab dalam Pemilu — baik untuk legislatif maupun eksekutif — hajatnta Pemilu habya moment yang penting untuk sekedar menentukan sikap bagi kaum buruh membuktikan pilihan terbaik yang diidolakan memiliki komitnen dan keberpihakan pada kaum buruh. Sebagai suatu kekuatan, kaum buruh Indonesia jekas memiliki massa yang solid, sehingga daya kekuatan kaum buruh dapat menentukan pilihan terhadap sosok terbaik untuk mengusung aspirasi rakyat di masa depan. Karena itu, kaum buruh tidak bisa berjuang sendiri — apalagi bila sampai tidak kompak — untuk mengatasi beragam masalah yang harus dihadapi bersama oleh kaum buruh. Sementara partai buruh sendiri, belum cukup meyakinkan memiliki kekuatan yang diidolakan oleh kaum buruh hingga mampu memposisikan perjuang politik partai buruh bisa menjadi kekuatan fenomenal di negeri kita. Sebab gambaran yang ideal tentang partai buruh yang selalu unggul di berbagai negara maju, sekedar sebatas idola saja. Karena belum bisa dijadikan model yang dimodifikasi agar dapat selaras dengan iklim politik yang khas dan naib di negeri kita ini.
Agaknya, hanya dengan cara yang bijak ini profesi pekerja pers dapat dijaga bersama, seperti kaum buruh Indonesia yang bisa disebut nasibnya seperti istilah dahulu yang disebut setali tiga uang.
Artinya, posisi dan keberadaa insan pers — seperti juga kaum buruh — tidak perlu tampil seperti pembalap yang ingin lebih unggul dari kawan sprofesi yang lain. Sebab pengertian di atas langit masih ada langit, bisa dijadikan kesadaran bahwa sejatinya perkawanan seprofesi itu akan bermuara pada persaudaraan yang sehati dan akan saling membahagiakan.
Biarlah petuah politik tetap kukuh meyakini bahwa tiada kawan yang sejati, karena yang patut terpatri dan dikedepankan oleh kawan-kawan buruh dan pers Indonesia saya kira, janganlah mengedepankan kepentingan dan keuntungan, dalam pengertian yang cuma sesaat, utamanya dalam kesempatan dan kekuasaan yang memabukkan, katena bukti sudah cukup banyak membuat mereka yang kalap itu menjadi hilaf.
Karena sumber kekuatan pekerja pers itu adalah moralitas yang tersemburat dari jiwa atau roh dalam ekspresi spiritual yang menghembuskan nilai-nilai etika dan moral dalam kemasan utuh yang bisa disebut akhkakul karimah. Itulah sebabnya pula, pers dapat dipahami sebagai pilar keempat dari tatanan demokrasi atau pun tatanan pemerintahan yang baik dan benar untuk menunaikan amanah mulianya dari rakyat. Sebab suara rakyat pun tetap diyakini sebagai bagian dari suara Tuhan.
Setidaknya, dalam keyakinan Islam, do’a dari 40 orang yang dilakukan dengan khusuk akan dikabulkan oleh Allah SWT. Jadi, atas dasar etika, moral dan akhlak yang mulia inilah, pekerja pers menekuni karier dari pekerjaannya itu yang terbaik hanya dengan laku spiritual, hingga relatif dekat dengan Tuhan. Maka itu, sungguh menjadi tidak rasional bagi seorang jurnalis sejati yang tega mengorbankan kemuliaan profesi pekerjaannya hanya karena ikatan kerja yang cuma bersifat sementara dengan mereka yang berada pada bilik lain.
Fenomena dari pekerja pers yang tampak berada dalam barisan pendukung seorang calon kandidat — dari legislatif maupun eksekutif — pada tahun politik menjelang Pemilu 2024, wajar-wajar saja dikakukan. Meski tidak sedikit diantara mereka yang terkesan kampungan, persis seperti kaum buruh yang tidak percaya dengan partai buruh. Akibatnya, mereka diam-diam memberikan pilihan dengan cara mereka sendiri. Meski tak sedikit diantara mereka pun yang melakukan secara sembunyi-sembunyi.
Yang penting, menurut saya masih tetap memahami adanya batas-batas etika yang tetap dipatuhi. Sebab tuntunan moral tidaklah elok dilanggar. Karena yang utama harus bisa ditakar oleh akhlak mulia yang telah tetap menjadi keyakinan dari diri kita masing-masing.
Banten, 30 September 2023
Paparan sederhana ini merupakan materi pengantar Forum Diskusi Insan Pers Bersama Komunitas Buruh Tengerang dan Banten yang diselenggarakan Atlantika Institut di Tangerang, 30 September 2023