Penulis: Rusdianto Samawa, Kritikus
Amerika Serikat kiblat demokrasi tak pernah melarang warga negaranya dalam kegiatan diskusi publik, nyatakan pendapat dimuka umum, menulis, dan kritik.
Indonesia sendiri, baru semilenial itu sistem demokrasinya. Persekusi malah massif. Maraknya peristiwa persekusi pada aktivis, akademisi, praktisi, politisi, wartawan (insan pers), hingga capres dan cawapres. Padahal negara ini diletakkan pada pondasi UUD 1945 dan pancasila.
Perjuangan pun berdarah – darah pada Mei 1998 agar adanya peralihan orde baru ke orde demokrasi. Perjalanan berumur 25 tahun. Darah yang mengalir pada 1998 pun, hingga kini dan mendatang tak akan selesai.
Corak demokrasi Indonesia sudah keluar dari jalur. Terjalnya sistem demokrasi yang dimimpikan itu ternyata tak mudah mendaki kesuksesan. Bayangkan saja, sejak 8 tahun rezim berkuasa rentetan peristiwa kriminal- persekusi terjadi.
Diawal kekuasaan rezim, Ustad Abdul Somad mengalami penolakan dimana-mana, Fahri Hamzah dibandara Sam Ratu Langi Manado diganyang Sajam, Habib Rizieq Shihab dikuntit-ditembaki, hampir terbunuh di KM50, Amien Rais ditembaki rumah dan demoruwat, Rocky Gerung dilarang-dibatalkan oleh kampus yang hendak berikan kuliah akal sehat hingga didemo massa.
Kali ini, Bupati Tanah Laut melarang Muhaimin Iskandar alias Cak Imin membuka acara MTQ Internasional. Dugaannya, hal itu terjadi karena bersenyawa antara partai dengan rezim. Berkolaborasi untuk persekusi. Lantaran khawatir ada agenda politik.
Persekusi itu tanda kematian demokrasi. Ya bisa mati karena kudeta, persekusi, totalitarian dan kritik dilaporkan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter seperti rezim yang menyalahgunakan kewenangan kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Hal itu sedang terjadi sekarang, dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara hentikan.
Dalam buku Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menerangkan kerusakan rezim karena pemimpin otoriter–totalitarian dalam menghadapi krisis besar. Kita harus penuh kewaspadaan dalam sistem demokrasi tetapi totalitarian.
Hambatan perbaiki demokrasi yang terancam, adalah rezim pemerintah, partai politik, dan individu yang memiliki hati–pikiran yang rusak. Sejarah tak berulang. Kita bisa lindungi demokrasi dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat.[]